Skip to content
Home » Sejarah Legenda Gunung Bromo

Sejarah Legenda Gunung Bromo

    Sejarah Legenda Gunung Bromo – Keindahan alam yang ada di gunung bromo sudah tidak diragukan lagi, namun siapa sangka dibalik keindahan itu banyak cerita legenda dan sejarah masa lalu yang tidak banyak diketahui yang sangat berkaitan erat dengan asal usul masyarakat asli “suku tengger” yang bermukim di sekitar lereng gunung bromo.

    Sejarah Legenda Gunung Bromo

    Sejarah dan Legenda Bromo yang harus diketahui

    Berdasarkan sejarah gunung bromo seringkali mengalami erupsi. Letusan paling dasyat terjadi pada tahun 1974. Meski tergolong gunung berapi aktif dengan siklus letusan yang teratur namun tempat ini menjadi salah satu icon wisata di Jawa Timur yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan dari berbagai belahan negara di dunia.

    Baca juga : Bulan terbaik ke Bromo

    Bagi penduduk sekitar bromo, gunung ini dipercaya turun – temurun sebagai gunung suci yang banyak menyimpan cerita legenda asal usul bromo yang berkaitan dengan penduduk asli disekitarnya yang biasa disebut dengan suku tengger dengan upacara keagamaannya yang terkenal yang hanya bisa ditemukan di bromo adalah upacara yadnya kasada yang setiap tahunnya diperingati di sebuah bangunan pura “luhur poten” di kaki gunung bromo. Upacara berlangsung pada tengah malam hingga dini hari yang diadakan setiap bulan purnama pada tanggal 14 – 15 bulan Kasodo penanggalan jawa kuno.

    Asal Usul Tengger

    Sejarah Tengger dimulai kurang lebih tahun 1.115 M atau tahun 1.037 Caka pada masa pemerintahan Kerajaan Kediri yang diperintah oleh Raja Erlangga. Pada waktu itu hiduplah seorang resi yang bernama Resi Musti Kundawa yang mempunyai kesaktian tinggi karena memiliki sebuah pusaka bernama Kiai Gliyeng. Setelah diangkat menjadi senopati, Musti Kundawa berganti nama menjadi Resi Kandang Dewa.

    Resi Kandang dewa mempunyai empat orang anak yaitu Joko Lanang, Dewi Amisani, Joko Seger, dan Dani Saka. Dari keempat putranya, Joko Seger-lah yang mewarisi ilmu dan pusaka Kiai Gliyeng dari sang ayah sehingga menjadi pendekar pilih tanding.
    Pada masa Kerajaan Kediri terdapat sebuah kadipaten yaitu Kadipaten Wengker (daerah Ponorogo) yang dipimpin oleh Adipati Surogoto.

    Adipati Surogoto mempunyai seorang putri cantik yang bernama Dewi Ratna Wulan. Sayang , Dewi Ratna menderita penyakit yang tidak kunjung sembuh dari kecil hingga dewasa. Berbagai upaya dilakukan oleh ayahanda, namun tidak ada seorang pun yang bisa menyembuhkan putrinya.

    Adipati Surogoto pun merasa sedih, begitupula seluruh rakyat Kadipaten Wengker. Akhirnya Adipati Surogoto mengadakan sanyembara untuk menyembuhkan putrinya. Berita tersebut terdengar sampai ke seluruh wilayah Kediri.

    Kisah Joko Seger dan Roro Anteng

    Joko senger mendengar kabar tersebut dan memutuskan untuk ikut serta dalam sayembara itu. Joko Seger langsung mendapat adipati kemudian pergi menuju alun – alun untuk bersemedi sambil menancapkan pusaka Kiai Gliyeng. Dalam semedinya Joko seger mendapatkan petunjuk bahwa Dewi Ratna Wulan dapat sembuh apabila diberi ramuan yang terbuat dari buah delima. Nama Dewi Ratna jug perlu diganti sesuai dengan sakitnya. Setelah semedi Joko seger kembali ke Kadipaten dan melaksanakan petunjuk yang telah diperolehnya. Dewi Ratna Wulan pun sembuh setelah meminum ramuan dari Joko Seger dan kemudian namanya diganti dengan nama Loro Anteng.

    Melihat anaknya sembuh Adipati Surogoto merasa sangat bahagia, begitu pula warga Kadipaten Wengker. Adipati akhirnya menepati janjinya untuk mengawinkan anaknya dengan Joko Senger. Sang Adipati melaksanakan upacara selamatan Kuno yaitu Tasyukuran untuk kebahagiaan Joko Senger dan Loro Anteng. Sampai saat ini tradisi upacara kuno masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat Tengger.

    Menjelang pernikahan Joko Segger dan Dewi Loro Anteng diadakan upacara Tawang Walagara atau Tawang Walagara atau Tawang Padang yaitu persembahan dari kedua belah pihak. Dari rombongan Kediri diiringi prajurit dan penari sodor yang dibawakan oleh 12 orang putra putrid masing – masing membawa sebatang bambu diisi berbagai macam palawija dan ujungnya dengan serabut kelapa.

    Sedangkan di tempat penganten putri disediakan berbagai sesajen antara lain takir janur ( pupus daun kelapa), gayung batok (batok kelapa) pengaron (alat masak yang terbuat dari tanah liat) dan segala peralatan perkawinan dengan berbagai macam peralatan dan sesajen. Adapun tari sodor yang dilakukan oleh pihak pengantin pria dinamakan sodoran, selanjutnya untuk mempererat tali persaudaraan antara dua keluarga maka Joko seger dan Roro antengbeserta kerabat diharuskan saling mengunjungi satu sama lainnya yang sekarang disebut dengan Dederek.

    Setelah itu, Joko Seger dan Roro anteng sebagai pasangan pengantin baru diharuskan melakukan upacara Nyadran (pergi ke makam keluarga yang telah meninggal dunia untuk meminta doa restu). Setelah dilakukan uacara Tawang Walagara, Dederek dan Nyadran ditutupi dengan upacara bawaha (penutup). Maka Joko Seger dan Roro Anteng menjadi pasangan suami istri yang sah dan siap mengarungi rumah tangganya sendiri.

    Setelah mengarungi bahtera rumah tangga sebagai pasangan suami istri tidak luput dari permasalahan hidup dan cubaan. Salah satunya adalah belum mendapat keturunan. Setelah satu tahun lamanya mereka belum mendapat keturunan, sampai akhirnya mereka sepakat untuk melakukan semedi di Sanggar Pamujan.

    Upacara Yadnya Kasada

    Dalam semediannya,mereka mendapat beberapa petunjuk yang isinya bahwa mereka telah membuat satu kesalahan yang menyebabkan mereka tidak di karuniai anak. Untuk menebus kesalahan mereka harus mengadakan upacara Selamatan Sepasar pada bulan Mengestin, mengadakan sadulur papat kelima badan dan mengadakan sesuci serta melaksanakan tolak brata selama 40 hari 40 malam (dari petunjuk inilah semua upacara yang dilaksanakan oleh Joko Seger dan Roro Anteng menjadi awal dari pelaksanaan upacara adat pujan Kapat sampai megeng dukun pada bulan kapitu dimana para dukun mengadakan tolak brata untuk penyucian diri dan mengasah japa mantranya sampai pujan).

    Dalam melakukan tolak brata Joko Seger dan Roro Anteng diberikan petunjuk apabila ingin mendapat keturunan mereka harus bersedi di gunung yang diselimuti kabut di daerah Oro – oro Ombo yang kemudian oleh Joko seger dinamakan Kawasan Gunung Bromo. Setelah turun dari semedinya mereka segera mengadakan persiapan untuk mengadakan perjalanan menuju ke aeah timur, sampailah mereka ke hutan belantara. Karena keadaan yang sudah malam mereka menginap di hutan tersebut, mereka berteduh di bawah pohon yang rindang. Tiba – tiba seekor singa dan seekor kera menyerang mereka. Dengan kemampuan pusaka Kyai Gliyang kedua hewan tersebut menjadi jinak dan daerah itu di beri nama Ludaya.

    Perjalanan mereka diteruskan dan mereka dihadang seekor macan yang galak. Terjadilah pertarungan Joko Seger dan macan tersebut sampai akhirnya Joko Seger dapat mengalahkan macan itu dan oleh Joko Seger daerah itu dinamakan Gembong (nama Gembong adalah asal usul Pasuruan berasal dari nama macan gembong). Perjalanan kemudian diteruskan ke arah timur, di dukuh Grati mereka kemudian meneruskan perjalanan sampailah di suatu tempat. Mereka berdua mencium bau tidak sedap kemudian daerah tersebut dinamakan Banger (dalam bahasa jawa berarti tidak sedap). Banger iniah cikal bakal daerah Probolinggo.

    Setelah itu mereka meneruskan perjalanan.Di tengah perjalanan mereka melihat gunung sangat tinggi. Letusannya sampai terdengar ke seluruh daerah, gunung itulah yang dinamakan gunung Songgolangit atau puncak Pesangit (Gunung Semeru, gunung tertinggi di jawa). Setelah satu bulan perjalanan sampailah pada bulan pandrawan. Joko Seger dan Roro Anteng berjalan naik dan sampailah di hutan Belantara. Mereka merasa heran dengan keberadaan pohon pisang itu dan menamakan pohon pisang itu dengan sebutan tuwuhan dan daerah tersebut dinamakan Jurang Pengantin.

    Kemudian mereka nerjalan naik dan melihat hutan yang ditumbuhi oleh pohon kecil seperti tembakau, daerah itu dinamakan Pomahan Bako. Mereka sampai di atas puncak bukit pada tengah malam. Mereka melihat keramaian orang yang membawa obor. Akan tetapi,setelah didekati, ternyata hanyalah batu – batu di atas air yang memantulkan siar bulan sehingga terlihat seperti banyak orang membawa obor. Daerah tersebut dinamakan Watu Kutho (batu kota).

    Pada tengah malam mereka melihat daerah Oro – oro ombo mereka segera mempersiapkan diri untuk bersemedi. Dari perjalanan yang sangat panjang dan banyak menemui kendala dan rintangan sampailah Joko Seger dan Roro Anteng di Oro – oro ombo. Sebagaimana bunyi wangsit, mereka pun melakukan semedi.

    Persemedian mereka tidak sia – sia mereka berdua mendengar suara gaib yang berasal dan gunung di Oro – oro ombo. Bahwa mereka telah lulus ujian dan melakukan lelaku dalam rangka memohon diberi keturunan. Oleh karena itu, mereka dikaruhi anak sebanyak 25 orang dalam waktu 44 tahun. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi oleh keduanya. Mereka harus merelakan anak yang terakhir untuk tinggal di gunung Bromo. Setelah mendapat petunjuk dan Betara Bromo mereka kembali ke Kadipaten Wenker.
    Setelah kurun waktu 16 tahun Joko Seger dan Roro Anteng dikaruniai 9 anak yang di beri nama Joko Ringgit, Dewi Sinta Wiji, Joko Klinting, Hadi Kawit, Dewi Jasingjihah, I Chal, Joko Linggapati, Cokroaminoto, dan Tunggul Wulung. Pada saat melahirkan anak yang kesembilan, tiba- tiba terjadi hujan yang sangat lebat, awan gelap dan patir yang menyembar. Melihat kejadian itu Joko Seger segera bersemedi memohon petunjuk dari sang maha kuasa.

    Dalam semedinya Joko Seger mendapat petunjuk bahwa ia telah melakukan kesalahan selama 16 tahun karena ia dan keluarganya tidak pernah berkunjung ke gunung Bromo. Untuk menebus kesalahannya, Joko Seger harus melaksanakan Numi Purwodan melakuakan tuwah ongkek ke kawah Gunung Bromo.
    Setelah kurang lebih 20 tahun usia Joko Ringgit (anak pertama), mereka dikaruniai 6 orang anak yang bernama Joko Penojati, Joko Bagus Wads, Joko Banu Rekso, pranoto, Praniti, dan Tunggul Ametung. Pada saat melahirkan anak ke-15 terjadi keanehan. Bayi yang dikandung Roro Anteng tidak bisa keluar selama 3 hari.

    Melihat keganjilan ini Joko Seger kembali mengadakan semedi untuk mendapatkan petunjuk yang maha agung. Dalam semedinya Joko Seger didatangi Batara Narada yang memberikan petunjuk agar Joko Seger menepati janjinya yaitu dengan menyuruh anak-anaknya yang sudah besar untuk bertapa di kawasan Lereng Gunung Bromo. Kemudian Joko Seger melaksanakan titah sang Batara agar anak-anaknya bertapa di Gunung Bromo.

    Joko Ringgit bertapa di Gunung Lawu dan Gunung Ringgit, Dewi Sinta Wiji bertapa di Gunung Sewu, Telaga Cakra, Gunung Mindangan, Joko Klinting bertapa di Gunung Puncak Tengking, Hadi Kawit bertapa di Telaga Gunung Sumber Semanik mencari manik- manikin, Dewi Jasing Jihan bertapa di midangan Gunung Kursi, I Chal hilang dalam kandungan dan telah bersemayam di Banyuated Jurang Peranten, Joko Linggopati bertapa di Linggobuana Gunung Lingga, Cakroaminoto bertapa di Indrakila Gunung Gendera, Tunggul Wulung bertapa dipintu masuk Gunung Bromo dan Joko Penojati pesan kepada anak-anaknya lahirlah bayi dalam kandungan Roro Anteng.

    Dalam masa sekitar 32 tahun, Dewi Roro Anteng melahirkan anak lagi yang ke – 16 sampai yang ke – 23 yaitu Raden Mesigit, Puspo, Angin, Hadi Jengkat, Hadiningrat, dan Hadi Kesuma. Sesuai dengan perjanjian waktu bersemedi di Oro – oro Ombo, anak yang ke – 25 dibawa terbang oleh api yang membara ke gunung Bromo.

    Dengan kejadian itu, Joko Seger memberikan pesan kepada anak-anaknya, inilah takdir yang harus diterima dengan memintakan kepada keturunannya untuk mengunjungi saudaranya yang bungsu ke Gunung Bromo setiap bulan Asi dengan membawa sesajen dan bekal makanan dan hasil bumi untuk diberikan kepada kesuma yang berada di Gunung Bromo.

    Peristiwa itu kemudian dijadikan cikal bakal upacara adat Kasodo. Dalam pesannya kepada anak-anaknya, Joko Seger memberi tugas kepada Setyowati dan Satuhu untuk menjaga adiknya Kesuma yang berada di Gunung Bromo, Setyowati dan Setuhu disuruh berdiam di Banyu Pakis. Anak Joko Seger lainnya dilereng Gunung Bromo.

    Sebagai pengetahuan baru untuk wisatawan yang akan berkunjung ke bromo, berikut ini adalah beberapa hal penting yang harus Anda tahu diantaranya :

    Dari mana asal cerita Gunung Bromo?

    kepercayaa turun temurun Suku tengger sebagai masyarakat asli yang tinggal di sekitar gunung bromo yang masih keturunan dari kerajaan majapahit yang pada masa itu pergi menyelamatkan diri dari peperangan.

    Kenapa dinamakan Gunung Bromo?

    Nama Bromo berasal dari nama dewa utama dalam agama Hindu, Brahma. Dalam bahasa Tengger dieja “Brama”, juga disebut Kaldera Tengger.

    Siapa tokoh utama dalam cerita Gunung Bromo?

    Rara Anteng dan Joko Seger adalah pasangan suami istri tokoh cerita utama. Kusuma adalah anak dari Joko Seger dan Rara Anteng, Bajak adalah raksasa pertapa yang sakti yang pernah melamar Rara Anteng.

    Suku Tengger ada di mana?

    Hanya ada di sekitar lereng gunung bromo yang tersebar di kawasan desa Ngadas Malang, desa Cemara Lawang Probolinggo dan desa Wonokitri Pasuruan.

    Apa agama yang dianut oleh suku Tengger?

    Agama hindu karena masih keturunan dari kerajaan majapahit.